SEJARAH AKUNTANSI SECARA UMUM
Akuntansi
berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat. Sejarah perkembangan pemikiran
akuntansi ( accounting thought ) dibagi dalam tiga periode: tahun 4000
SM – 1300 M; tahun 1300 – 1850 M, dan tahun 1850 Msampai sekarang.
Masing-masing periode memberi kontribusi yang berarti bagiilmu akuntansi. Pada
periode pertama akuntansi hanyalah bentuk record-keeping yang sangat
sederhana, maksudnya hanyalah bentuk pencatatan dari apa saja yangterjadi dalam
dunia bisnis saat itu. Periode kedua merupakan penyempurnaan dari periode
pertama, dikenal dengan masa lahirnya
double-entry
bookkeeping . Pada periode terakhir banyak sekali perkembangan
pemikiran akuntansi yang bukanlagi sekedar masalah debit kiri – kredit kanan,
tetapi sudah masuk ke dalamkehidupan masyarakat. Perkembangan teknologi yang
luar biasa juga berdampak pada perubahan ilmu akuntansi modern
(Basuki, 2000 : 173).Pengguna akuntansi juga bervariasi, dari yang sekedar
memahamiakuntansi sebagai: 1) alat hitung menghitung; 2) sumber informasi
dalam pengambilan keputusan; 3) sampai ke pemikiran bagaimana akuntansi
diterapkansejalan dengan (atau sebagai bentuk pengamalan) ajaran agama. Bila dihubungkan
dengan kelompok usaha kecil dan menengah tampaknya pemahaman terhadap
akuntansi masih berada pada tataran pertama dan keduayaitu sebagai alat
hitung-menghitung dan sebagai sumber informasi untuk pengambilan
keputusan (Basuki, 2000 : 174).
Informasi
akuntansi merupakan alat yang digunakan oleh pengguna informasi untuk
pengambilan keputusan (Nicholls dan Holmes, 1988 : 57),terutama oleh pelaku
bisnis. Dimana informasi akuntansi diharapkan dapatdidefinisikan sebagai sistem
informasi yang bisa mengukur dan mengkomunikasikan informasi keuangan tentang
kegiatan ekonomi.Informasi akuntansi sangat diperlukan oleh pihak manajemen
perusahaan dalam merumuskan berbagai keputusan dalam memecahkan segala
permasalahan yang dihadapi perusahaan. Informasi akuntansi yang dihasilkan dari
suatu laporan keuangan berguna dalam rangka menyusun berbagai proyeksi,
misalnya proyeksi kebutuhan uang kas di masa yang akan datang. Dengan menyusun
proyeksi tersebut secara tidak langsung akan mengurangi ketidakpastian, antara
lain mengenai kebutuhan akan kas (Sutapa, Rusdi, dan Kiryanto, 2001 :
200).Informasi akuntansi berhubungan dengan data akuntansi atas transaksi-transaksi
keuangan dari suatu unit usaha, baik usaha jasa, dagang maupun manufaktur.
Supaya informasi akuntansi dapat dimanfaatkan oleh manajer atau pemilik
usaha, maka informasi tersebut disusun dalam bentuk-bentuk yang sesuai dengan
Standar Akuntansi Keuangan.Arus informasi akuntansi keuangan dari perusahaan
kecil sangat bermanfaat untuk mengetahui bagaimana perkembangan usaha
perusahaan, bagimana struktur modalnya, berapa keuntungan yang diperoleh
perusahaan padasuatu periode tertentu.Holmes dan Nicholls (1989) mengungkapkan
bahwa informasi akuntansiyang banyak disiapkan dan digunakan perusahaan kecil
dan menengah adalah informasi yang diharuskan menurut undang-undang atau
peraturan (statutory).Selain itu, informasi akuntansi yang seharusnya dibutuhkan
oleh manajemen perusahaan kecil dan menengah dalam pengggunaan informasi
akuntansi sangat terbatas sekali. Philip (1977) mengungkapkan banyak kelemahan
dalam praktik akuntansi pada perusahaan kecil. Kelemahan tersebut
disebabkan oleh beberapafaktor, antara lain pendidikan dan overload standar
akuntansi yang dijadikan pedoman dalam penyusunan pelaporan keuangan
(William et.al, 1989; Knutsondan Henry, 1985; Nair dan Rittenberg, 1983;
Wishon, 1985; Murray et al, 1983).Dari uraian tersebut jelas bahwa industri
menengah banyak mengalami kesulitan dalam memahami informasi akuntansi dengan
baik. Padahal dengan semakin ketatnya persaingan bisnis dalam era globalisasi
ekonomi, hanya perusahaan yang memiliki keunggulan kompetitif yang akan
mampu memenangkan persaingan. Keunggulan tersebut diantaranya adalah kemampuan dalam
mengelola berbagai informasi, sumber daya manusia, alokasi dana, penerapan
teknologi, sistem pemasaran dan pelayanan. Sehingga manajemen perusahaan
yang profesional merupakan tuntutan yang harus segera dipenuhiuntuk dapat
melaksanakan kegiatan-kegiatan perusahaan secara baik.Melihat begitu banyak
peranan dan manfaat informasi akuntansi dalam menciptakan arus informasi
keuangan guna menunjang kelangsungan hidup(going concern) industri menengah,
maka melalui penelitian ini ingin mengetahui pengaruh pengetahuan
akuntansi, sakala usaha, pengalaman usaha dan jenisusaha terhadap penggunaan
informasi akuntansi pada industri menengah.Dalam penelitian ini ketidakpastian
lingkungan diposisikan sebagai moderating variable yang merupakan variabel yang
dapat memoderasi(memperkuat atau memperlemah) pengaruh pengetahuan akuntansi,
sakala usaha, pengalaman usaha, dan jenis usaha terhadap penggunaan
informasi akuntansi.Variabel ketidakpastian lingkungan sebagai variabel
pemoderasi karena variabelini diduga mempunyai potensi yang cukup kuat
mempengaruhi pengetahuanakuntansi, skala usaha, pengalaman usaha dan jenis
usaha terhadap penggunaaninformasi akuntansi. Informasi akuntansi yang
digunakan dalam penelitian initerdiri dari informasi akuntansi statutori,
anggaran dan informasi akuntansitambahan.
SEJARAH AKUNTANSI DI INDONESIA
Praktik akuntansi di Indonesia dapat ditelusur pada era penjajahan Belanda
sekitar 17 (ADB 2003) atau sekitar tahun 1642 (Soemarso 1995). Jejak yang jelas
berkaitan dengan praktik akuntansi di Indonesia dapat ditemui pada tahun 1747,
yaitu praktik pembukuan yang dilaksanakan Amphioen Sociteyt yang berkedudukan
di Jakarta (Soemarso 1995). Pada era ini Belanda mengenalkan sistem pembukuan
berpasangan (double-entry bookkeeping) sebagaimana yang dikembangkan
oleh Luca Pacioli. Perusahaan VOC milik Belanda-yang merupakan organisasi
komersial utama selama masa penjajahan-memainkan peranan penting dalam praktik
bisnis di Indonesia selama era ini (Diga dan Yunus 1997).Kegiatan ekonomi pada masa penjajahan meningkat cepat selama tahun 1800an dan awal tahun 1900an. Hal ini ditandai dengan dihapuskannya tanam paksa sehingga pengusaha Belanda banyak yang menanmkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kegiatan ekonomi mendorong munculnya permintaan akan tenaga akuntan dan juru buku yang terlatih. Akibatnya, fungsi auditing mulai dikenalkan di Indonesia pada tahun 1907 (Soemarso 1995). Peluang terhadap kebutuhan audit ini akhirnya diambil oleh akuntan Belanda dan Inggris yang masuk ke Indonesia untuk membantu kegiatan administrasi di perusahaan tekstil dan perusahaan manufaktur (Yunus 1990). Internal auditor yang pertama kali datang di Indonesia adalah J.W Labrijn-yang sudah berada di Indonesia pada tahun 1896 dan orang pertama yang melaksanakan pekerjaan audit (menyusun dan mengontrol pembukuan perusahaan) adalah Van Schagen yang dikirim ke Indonesia pada tahun 1907 (Soemarso 1995).
Pengiriman Van Schagen merupakan titik tolak berdirinya Jawatan Akuntan Negara-Government Accountant Dienst yang terbentuk pada tahun 1915 (Soermarso 1995). Akuntan publik yang pertama adalah Frese & Hogeweg yang mendirikan kantor di Indonesia pada tahun 1918. Pendirian kantor ini diikuti kantor akuntan yang lain yaitu kantor akuntan H.Y.Voerens pada tahun 1920 dan pendirian Jawatan Akuntan Pajak-Belasting Accountant Dienst (Soemarso 1995). Pada era penjajahan, tidak ada orang Indonesia yang bekerja sebagai akuntan publik. Orang Indonesa pertama yang bekerja di bidang akuntansi adalah JD Massie, yang diangkat sebagai pemegang buku pada Jawatan Akuntan Pajak pada tanggal 21 September 1929 (Soemarso 1995).
Kesempatan bagi akuntan lokal (Indonesia) mulai muncul pada tahun 1942-1945, dengan mundurnya Belanda dari Indonesia. Pada tahun 1947 hanya ada satu orang akuntan yang berbangsa Indonesia yaitu Prof. Dr. Abutari (Soermarso 1995). Praktik akuntansi model Belanda masih digunakan selama era setelah kemerdekaan (1950an). Pendidikan dan pelatihan akuntansi masih didominasi oleh sistem akuntansi model Belanda. Nasionalisasi atas perusahaan yang dimiliki Belanda dan pindahnya orang orang Belanda dari Indonesia pada tahun 1958 menyebabkan kelangkaan akuntan dan tenaga ahli (Diga dan Yunus 1997).
Atas dasar nasionalisasi dan kelangkaan akuntan, Indonesia pada akhirnya berpaling ke praktik akuntansi model Amerika. Namun demikian, pada era ini praktik akuntansi model Amerika mampu berbaur dengan akuntansi model Belanda, terutama yang terjadi di lembaga pemerintah. Makin meningkatnya jumlah institusi pendidikan tinggi yang menawarkan pendidikan akuntansi-seperti pembukaan jurusan akuntansi di Universitas Indonesia 1952, Institute Ilmu Keuangan (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara-STAN) 1990, Univesitas Padjajaran 1961, Universitas Sumatera Utara 1962, Universitas Airlangga 1962 dan Universitas Gadjah Mada 1964 (Soermarso 1995)-telah mendorong pergantian praktik akuntansi model Belanda dengan model Amerika pada tahun 1960 (ADB 2003). Selanjutnya, pada tahun 1970 semua lembaga harus mengadopsi sistem akuntansi model Amerika (Diga dan Yunus 1997).
Pada pertengahan tahun 1980an, sekelompok tehnokrat muncul dan memiliki kepedulian terhadap reformasi ekonomi dan akuntansi. Kelompok tersebut berusaha untuk menciptakan ekonomi yang lebih kompetitif dan lebih berorientasi pada pasar-dengan dukungan praktik akuntansi yang baik. Kebijakan kelompok tersebut memperoleh dukungan yang kuat dari investor asing dan lembaga-lembaga internasional (Rosser 1999). Sebelum perbaikan pasar modal dan pengenalan reformasi akuntansi tahun 1980an dan awal 1990an, dalam praktik banyak ditemui perusahaan yang memiliki tiga jenis pembukuan-satu untuk menunjukkan gambaran sebenarnya dari perusahaan dan untuk dasar pengambilan keputusan; satu untuk menunjukkan hasil yang positif dengan maksud agar dapat digunakan untuk mengajukan pinjaman/kredit dari bank domestik dan asing; dan satu lagi yang menjukkan hasil negatif (rugi) untuk tujuan pajak (Kwik 1994).
Pada awal tahun 1990an, tekanan untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan muncul seiring dengan terjadinya berbagai skandal pelaporan keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan dan perilaku investor. Skandal pertama adalah kasus Bank Duta (bank swasta yang dimiliki oleh tiga yayasan yang dikendalikan presiden Suharto). Bank Duta go public pada tahun 1990 tetapi gagal mengungkapkan kerugian yang jumlah besar (ADB 2003). Bank Duta juga tidak menginformasi semua informasi kepada Bapepam, auditornya atau underwriternya tentang masalah tersebut. Celakanya, auditor Bank Duta mengeluarkan opini wajar tanpa pengecualian. Kasus ini diikuti oleh kasus Plaza Indonesia Realty (pertengahan 1992) dan Barito Pacific Timber (1993). Rosser (1999) mengatakan bahwa bagi pemerintah Indonesia, kualitas pelaporan keuangan harus diperbaiki jika memang pemerintah menginginkan adanya transformasi pasar modal dari model “casino” menjadi model yang dapat memobilisasi aliran investasi jangka panjang.
Berbagai skandal tersebut telah mendorong pemerintah dan badan berwenang untuk mengeluarkan kebijakan regulasi yang ketat berkaitan dengan pelaporan keuangan. Pertama, pada September 1994, pemerintah melalui IAI mengadopsi seperangkat standar akuntansi keuangan, yang dikenal dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Kedua, Pemerintah bekerja sama dengan Bank Dunia (World Bank) melaksanakan Proyek Pengembangan Akuntansi yang ditujukan untuk mengembangkan regulasi akuntansi dan melatih profesi akuntansi. Ketiga, pada tahun 1995, pemerintah membuat berbagai aturan berkaitan dengan akuntansi dalam Undang Undang Perseroan Terbatas. Keempat, pada tahun 1995 pemerintah memasukkan aspek akuntansi/pelaporan keuangan kedalam Undang-Undang Pasar Modal (Rosser 1999).
Jatuhnya nilai rupiah pada tahun 1997-1998 makin meningkatkan tekanan pada pemerintah untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan. Sampai awal 1998, kebangkrutan konglomarat, collapsenya sistem perbankan, meningkatnya inflasi dan pengangguran memaksa pemerintah bekerja sama dengan IMF dan melakukan negosiasi atas berbagaai paket penyelamat yang ditawarkan IMF. Pada waktu ini, kesalahan secara tidak langsung diarahkan pada buruknya praktik akuntansi dan rendahnya kualitas keterbukaan informasi (transparency).
0 komentar:
Posting Komentar